Kepulauan Jepang yang terletak di lepas pantai timur benua Asia membentang seperti busur ramping sepanjang 3.800 km dengan luas total 377.815 km persegi, sedikit lebih luas dari Inggris, hanya sepersembilan dari luas Amerika Serikat.(1989 : 1)
Sebelum Restorasi Meiji (1868) Jepang sepenuhnya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Akan tetapi sejak modernisasi yang dijalankan oleh Kaisar Meiji, Jepang mulai mengembangkan insustri dalam negeri. Memasuki abad ke-20, Jepang telah tumbuh menjadi negara modern dan negara industri pertama di Asia.
Menurut Joesoef Sou’yb (1987 : 254) perkembangan yang mengagumkan itu sebaliknya membawa dampak yang tidak diinginkan sama sekali. Kemajuan-kemajuan tersebut diiringi pula dengan pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Tentang perkembangan cacah jiwa penduduk di Jepang itu tercatat sebagai berikut:
Tahun 1828 = 26,5 juta
Tahun 1872 = 34,8 juta
Tahun 1920 = 55,4 Juta
Tahun 1935 = 69,2 juta.
Data di atas bermakna bahwa negara kepulauan yang miskin akan sumber alam tersebut kini menanggung jumlah penduduk yang sangat besar dalam luas yang relatif sempit. Kenyataan ini menjadi masalah yang meresahkan pemerintah Jepang. Karena dengan berlipatgandanya jumlah penduduk, menyebabkan Jepang menjadi negara minus.
Sebagai jalan keluarnya, Jepang pada awalnya menempuh kebijakan dengan jalan emigrasi. Namun setelah negara-negara menutup pintu imigrasinya bagi bangsa Jepang menyebabkan Jepang menjadi kalap dan haus tanah. Didukung oleh persenjataan militer yang kuat dan modern, Jepang mulai melakukan petualangan-petualangan milter yang merisaukan dunia.
Masalah kepadatan penduduk inilah yang menjadi awal kesulitan Jepang dan menjadi faktor yang cukup penting dalam kerangka imperialisme Jepang di Asia.
2. Retriksi (Pembatasan) Imigrasi Bangsa Jepang
Sejarah emigrasi bangsa Jepang dimulai pda tahun 1868 dengan keberangkatan kapal yang memuat para pemukim Jepang yang pertama ke Hawaii. Pada tahun-tahun selanjutnya, Amerika Serikat dan Amerika Latin menjadi tujuan yang disukai oleh para emigran bangsa Jepang. Dalam waktu 70 tahun sebelum Perang Dunia II, jumlah orang Jepang yang beremigrasi adalah sekitar 700.000.(1985 : 9)
Emigrasi bangsa Jepang ini kemudian terhenti setelah memuncaknya ketegangan antara Jepang dengan negara-negara Barat, dimana negara-negara di dunia menutup pintu untuk imigrasi dari Jepang, walaupun umpamanya wilayah Afrika maupun wilayah Amerika Selatan masing kosong dan luas.
Untuk mengerahkan kelebihan penduduknya ke Asia atau Australia juga tidak memungkinkan karena negara-negara di Asia sudah dikuasai oleh imperialisme Barat yang nota-bene adalah musuh Jepang. Sementara itu Australia sudah lama menutup pintu imigrasinya bangsa bangsa non kulit putih, seperti yang dicatat oleh J.S. Siboro (1989 : 145), bahwa:
Dalam tahun 1880-1881 dan tahun 1888 diadakan konferensi antar koloni, dimana diputuskan bahwa semua koloni mengetatkan undang-undang imigrasinya. Antara tahun 1891 dan 1901, kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk mempertahankan White Australia dikembangkan. Tujuannya adalah mencegah masuknya semua orang berkulit berwarna … Sesudah federasi terbentuk, kebijaksanaan ini dinyatakan juga dalam undang-undang tahun 1901 dan terkenal dengan nama Imigration Retriction Act. Maksudnya adalah mencegah masuknya imigran non kulit putih.
Sebenarnya pembatasan imigrasi bangsa Jepang itu dilatarbelakangi oleh ketakutan bangsa Barat akan superioritas Jepang membahayakan kedudukan mereka di Asia. Hal ini bermula ketika Jepang berhasil mengalahkan Rusia dalam perang tahun 1905 dan muncul sebagai “bahaya kuning” di Asia Pasifik.
Di Amerika, gejala kekhawatiran ini nampak lebih nyata. Para pelajar Amerika menunjukkan sikap anti terhadap para pelajar Jepang. Presiden Roosevelt yang menyadari hal ini segera mengambil langkah pembatasan terhadap arus imigrasi Jepang. Pada tahun 1924 Amerika menutup pintu imigrasinya serapat-rapatnya bagi Jepang, namun bangsa kulit putih boleh masuk meskipun dibatasi. Diskriminasi ini melukai hati orang Jepang dan dinilai sebagai paksaan untuk melakukan ekspansi keluar negeri.
3. Perkembangan Industri Jepang
Proses modernisasi di Jepang sesungguhnya dimulai sejak pembukaan Jepang oleh Commodore Perry yang memaksa Jepang membuka beberapa pelabuhannya dan memberi konsesi pada negara-negara Barat.
Setelah pembukaan Jepang dan berakhirnya politik “isolasi” pemerintah Bakufu yang berlangsung selama 200 tahun lebih (1639-1864), bangsa Jepang mulai menyadari ketinggalan-ketinggalan yang mereka alami. Perkembangan yang dicapai selama negara tertutup, ternyata tidak dapat mengimbangi kemajuan yang dicapai negara-negara Barat. Timbul kesadaran bahwa Jepang harus secepat mungkin mengadakan perubahan dan menyesuaikan diri pada perkembangan baru yang terjadi di negara-negara Barat kalau tidak ingin dijajah seperti bangsa-bangsa lainnya di Asia pada masa itu. Menurut catatanYeti Nurhayati (1987: 50) perubahan dan penyesuaian diri tersebut dikenal dengan Restorasi Meiji.
Menurut Fukuzawa Yukichi(1985: 217), Restorasi Meiji dalam arti sempit dapat diartikan sebagai pemulihan kembali Kaisar Meiji setelah penggulingan pemerintahan Tokugawa pada tanggal 3 Januari 1868 oleh kekuatan-kekuatan yang dipelopori oleh daerah-daerah Satsuma (sekarang propinsi Kagoshima), dan Coshu (sekarang propinsi Yamaguchi). Peristiwa tersebut telah membuka ke arah pembaharuan-pembaharuan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, angkatan perang, dan lain-lain, serta meletakkan sendi-sendi bagi suatu Jepang modern.
Ada beberapa faktor yang memungkinkan tercapainya modernisasi secara cepat. Pertama, dasar-dasar untuk mencapai modernisasi sebenarnya sudah ditanamkan sejak jaman Tokugawa yang berlangsung kira-kira dua setengah abad lamanya. Karena selama itu rakyat Jepang telah ditempah dalam persatuan dan kebiasaan patuh kepada pimpinan dengan kerelaan mengorbankan diri. Kepatuhan tersebut kemudian menjelma menjadi bentuk cita-cita nasional dengan kesetiaan kepada Tenno dan cinta tanah air.
Semangat ini menjadi salah satu faktor yang mendorong tercapainya pembentukan masyarakat modern. Kedua, bangsa ini dari pembawaannya adalah bangsa yang ingin sekali belajar dari yang lain, berhasrat besar menerima pengetahuan itu dan melakukan perbaikan atasnya. Mottonya; “cari dan temukan praktek terbaik di seluruh dunia dan lakukan perbaikan atasnya.” Hal inilah yang menyebabkan Jepang mengalami “loncatan-loncatan” besar kemajuannya, seperti yang dicatat oleh Richard Deacon (1986) bahwa Jepang sesungguhnya telah beralih dari abad ke-17 ke abad ke-20 hanya dalam waktu 50-60 tahun. Pada tahun-tahun 1840-an kehidupan di Jepang kira-kira seperti kehidupan di Inggris dalam tahun-tahuan 1640-an. Menjelang tahun 1910, Jepang telah berperadaban tinggi dan modern.
Ungkapan senada juga dikemukakan oleh Jacob Buckhard yang dikutip oleh Kenneth B. Pyle (1988 : 1885):
Tiba-tiba saja proses sejarah telah dipercepat secara mengerikan. Sebaliknya perkembangan yang biasanya memakan waktu berabad-abad lamanya melompat cepat seperti makhluk halus (phantoms) dalam hitungan bulanan atau mingguan saja dan selesailah prosesnya.
Masa Showa yang dimulai dengan naiknya Hirohito menjadi kaisar tahun 1926 menggantikan Kaisar Taisho (1912-1925), memberikan suasana yang penuh harapan. Perindustrian di negara ini terus berkembang yang ditandai dengan munculnya kota-kota industri baru. Perkembangan ini ditopang oleh kemajuan perdagangan luar negeri yang semakin meluas dari tahun ke tahun.
Sehubungan dengan perkembangan industri dalam negeri, Jepang akhirnya mengalami kesulitan dalam hal penyediaan sumber bahan mentah berupa minyak, besi, batu bara, dan sebagainya dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini dikarenakan Jepang tidak memiliki sumber bahan mentah dalam negeri yang cukup untuk mensuplai kebutuhan industri-industrinya.
Menurut catatan Joesoef Sou’yb (1987: 300) kesulitan ekonomi yang melanda dunia pada jaman Malaise sekitar tahun tiga puluhan mendorong negara-negara di dunia memberlakukan tarif proteksi atas barang impor. Akibatnya Jepang kehilangan pasaran produksi industrinya.
Kesulitan akan sumber bahan mentah dan daerah pasaran produksi menimbulkan imperialisme modern Jepang. Sebagai implikasinya, perhatian Jepang diarahkan untuk sumber bahan baku industri dan daerah pasaran hasil produksinya, yakni ke Manchuria, Tiongkok, demikian pula wilayah Asia Tenggara dan India.
4. Harga Diri Sebagai Negara Besar
Perang Rusia-Jepang (1904 -1905) berakhir dengan kemenangan Jepang. Ketika Jepang berhasil mengusir tentara Rusia di Manchuria dan menghancurkan armada Baltik Rusia di Laut Jepang. Dalam konferensi perdamaian yang diselenggarakan di Portsmouth, Amerika Serikat tahun 1905, Rusia mengakui hak-hak dan kepentingan Jepang di Korea, dan hak Jepang menyewa wilayah sewaan Kwantung, menyerahkan jalan kereta api Manchuria sebelah selatan Changchun dan tambang-tambang batu bara yang berdekatan, serta menyetujui penyerahan daerah Sakhalin yang terletak di bagian selatan garis melintang 5 derajat Utara kepada Jepang.
Kemenangan itu telah memperkuat kepercayaan Jepang bahwa mereka mampu mengalahkan salah satu bangsa Eropa. Kemenangan itu juga menggugah bangsa Asia, bahwa tidak benar bangsa Eropa tidak dapat dikalahkan oleh bangsa kullit Asia. Kebangkitan nasionalisme terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia.
Secara politis, peristiwa ini mengakibatkan naiknya keharuman nama Jepang di Timur Jauh dan Jepang muncul sebagai negara Asia terkuat dan disegani oleh negara-negara Barat.
Jepang yang merasa dirinya sejajar dengan negara-negara Barat, dalam Konferensi Perdamaian (18 Januari 1919) menuntut diumumkannya statement tentang persamaan derajat bangsa-bangsa (racial equality). Namun usul tersebut ditolak. Bahkan dalam persetujuan kekuatan angkatan laut antara Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang yang ditandatangani setelah Perang Dunia I, Jepang tidak diperblehkan membangun angkatan laut sebesar AS dan Inggris, dan harus tunduk pada perbandingan 5:5:3. Sayidiman Suryohadiprojo (1987: 35) Penetapan ini menunjukkan arogansi Barat yang tidak menghendaki Jepang tergolong atau sama seperti mereka.
Ketika itu Jepang yang telah menjadi negara kuat dan modern, ingin pula mengikuti jejak negara-negara besar yang pada saat itu dimabuk imperialisme. Namun dalam kenyataannya negara-negara di Asia dan Afrika sudah dibagi-bagi oleh kolonial Barat. Jepang yang tidak mendapat bagian merasa tidak adil. Mereka menyadari bahwa untuk mendapatkan wilayah jajahan, satu-satunya jalan hanyalah dengan menyerobot dan menyingkirkan kuasa-kuasa Barat yang sudah lama bercokol di Asia-Afrika, dan ini berarti Jepang harus mempergunakan kekuatan militernya.
5. Ajaran Shinto tentang Hakko-Ichi-U
Menurut Abu Ahmadi (1970 : 68) Shinto adalah agama asli Jepang yang berakar pada kepercayaan animis Jepang kuno. Kata Shinto berasal dari bahasa Tinghoa, “Shen” artinya roh, “Tao” berarti jalannya dunia, bumi, dan langit. Dengan demikian Shinto berarti perjalanan roh yang baik.
Menurut kepercayaan orang Jepang, Dewa Matahari (Amaterasu Omikami) merupakan dewa yang tertinggi kedudukannya. Dan oleh karena kaisar dianggap sebagai keturunan serta wakilnya di bumi, maka mereka pun melakukan pemujaan terhadap kaisar. Melalui agama Shinto terjadilah pemujaan terhadap kekuasaan negara dengan Tenno sebagai lambangnya.
Sejak Restorasi Meiji (1868), agama Shinto dijadikan agama negara dan mendapat kedudukan istimewa dalam pemerintahan. Pejabat-pejabat Shinto ditempatkan pada kedudukan penting dalam kabinet, dan doktrin-doktrin yang didasarkan pada Shinto dipropagandakan oleh pemerintah.
Menurut Hasbulla Bakri (1970 : 103) bahwa agama Shinto ini memang mempunyai kelebihan, yakni dapat menarik hati golongan atas karena kekolotan mereka, dan dapat menarik hati golongan bawah karena takhyul mereka. Itulah sebabnya agama Shinto sering digunakan sebagai alat poltik.
Menurut Shinto (1958 : 14), Hakko-ichi-u itu diperintahkan oleh Jimmu Tenno (Tenno pertama ± 660 SM) sebagai dewa kepada bangsa Jepang untuk membentuk kekeluargaan yang meliputi seluruh dunia. Hakko-ichi-u dianggap sebagai titah dewa yang harus dilaksanakan. Selanjutnya Hakko-ichi-u diterangkan bahwa bangsa Jepang merupakan keluarga yang sah, sedangkan bangsa-bangsa lain tidak, karena itu Jepang boleh memperlakukannya dengan sewenang-wenang. Sebagai keluarga yang sah, Jepang berhak atas seluruh dunia agar dunia dapat disusun sebagai satu kekeluargaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hakko-ichi-u (dunia sebagai satu keluarga) adalah ajaran Shinto yang mengatakan bahwa Jepang harus menyusun dunia ini sebagai satu “keluarga besar”, dan Jepang bertindak sebagai “kepala keluarga”. Ajaran Hakko-ichi-u ini tentunya tak dapat terlaksana tanpa kemajuan yang telah dicapai oleh Jepang, terutama dalam bidang perdagangan dan industri. Ajaran tersebut telah ada sejak tahun 660 SM yang merupakan perintah dari Tenno, namun pada kenyataannya nanti pada abad ke-19 Jepang menjadi negara imperialis. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan yang dicapai setelah Restorasi Meiji merupakan faktor utama yang menyebabkan Jepang menjadi negara imperialis.