Cerpen : Sekali Ini Saja



“Lihat, ada bintang jatuh!”

keshya menunjuk sesuatu yang bergerak cepat ke bawah membentuk sebuah cahaya yang terang di atas langit sana.

“Cepat buat permohonan, vin!” keshya menyenggol lengan Alvin yang duduk di sebelahnya, kemudian ia langsung memejamkan mata.

Alvin mengikuti gerak-gerik gadis di sebelahnya, membuat sebuah permohonan.

---

Malam itu seperti biasa, Alvin dan Keshya duduk di atas bukit sambil memandang langit malam yang penuh bintang. Mereka sama-sama menceritakan harapan, dan impian yang akan mereka raih. Disana, mereka berbagi cerita bersama sambil menikmati indahnya malam.

Alvin dan Keshya, dua sahabat yang telah bertahun-tahun lamanya bersama. Membawa sejuta kisah suka dan duka tentang persahabatan mereka. Kedua insan yang memang ditakdirkan bersama, untuk merangkai hari demi hari yang penuh makna, serta menjalani setiap detik hanya berdua.

---

“Bintang yang indah…” ucap Keshya yang masih mengarahkan kedua matanya ke langit.

“Yaa. Seindah…” ucapan Alvin menggantung. Ia berpikir sejenak, apakah ia harus mengatakan hal itu apa tidak.

Keshya menoleh ke Alivin, karena terlalu lama menunggu lanjutan kalimat Alvin. Melihat Alvin yang nampak bingung, Keshya langsung tersenyum dan menggeser posisi duduknya mendekati Alvin. Alvin ikut menoleh ke Keshya yang pula tengah menatap ke arahnya.

“Seindah persahabatan kita, Vin.” Kata Keshya sambil menatap lekat kedua bolamata Alvin.

Alvin pun demikian. Menatap lekat kedua bolamata Keshya, yang entah sejak kapan ia mencintai bolamata tersebut. Mencintai kedua bolamata Keshya, ya, sangat mencintainya.

Hening kemudian. Mereka sama-sama diam dalam tatapan. Tak lama, hanya dua detik. Setelah itu, Keshya kembali menggeser posisinya agak menjauh dari Alvin, dan kembali memandang bintang di langit. Sementara Alvin…

Ya, Alvin masih terus menatap gadis di sebelahnya. Sahabatnya. Ah, bukan… Entah kenapa Alvin menginginkan lebih dari itu. Alvin ingin lebih dari sekedar sahabat dengan Keshya. Karena, Alvin mencintainya. Ya, mencintai sahabatnya.

Izinkan aku mencintainya, Tuhan… batin Alvin dalam hati…

---

Bersamamu…

Yang kumau…

Namun kenyataannya tak sejalan…

---

Alvin membuka bungkusan kecil yang ia terima dari sahabatnya. Sementara Keshya hanya tersenyum melihat gerak-gerik Alvin yang mulai merobek bungkusan tersebut.

“Indah bukan?” Tanya Keshya ketika Alvin berhasil menemukan barang di balik bungkusan tersebut.

Alvin memandang seuntas kalung yang ia pegang. Kalung itu memiliki sebuah tulisan, dan tulisan itu adalah… AlShya

Keshya langsung merebut kalung yang Alvin pegang, kemudian Keshya melingkarkan kalung tersebut di leher Alvin. Alvin menatap lagi kalung itu.

Alshya … Alvin-Keshya. Ya, begitulah nama panggilan untuk mereka berdua.

“Untukku?” Tanya Alvin sambil memegang kalung yang dilingkarkan di lehernya.

“Iya dong. Dan kau tahu? Aku juga punya…” Keshya kemudian menunjukkan seuntas kalung yang ia sembunyikan di balik kerah bajunya. Kalung tersebut persis dengan kalung yang dimiliki Alvin, memiliki tulisan ‘Alshya’.

Keshya kemudian merangkul pundak Alvin. Tangannya yang lain memegang kalung yang terlingkar di lehernya.

“Kalung ini sebagai tanda persahabatan dan hanya dimiliki kau dan aku. Itu artinya, Alshya hanya milik kita berdua. Dan, AlShya hanyalah sepasang sahabat yang ditakdirkan untuk bersama oleh Tuhan,” kata Keshya.

DEG, entah Alvin merasa jantungnya berhenti berdetak usai mendengar kata-kata Keshya barusan. Seakan Alvin tak bisa menerima ucapan tersebut. Bagaimana tidak? Keshya … Gadis itu memang sahabatnya. Namun tak bisakah Keshya mengerti bila Alvin ingin lebih dari itu? Dan kenyataannya memang tidak. Dengan cara apapun Alvin berusaha, Keshya tetap tidak akan mengerti. Karena Keshya hanya menganggap Alvin adalah sahabat. Ya, sahabat yang ditakdirkan untuk bersama.

---

Tuhan bila masih ku diberi kesempatan…

Izinkan aku untuk mencintanya…

---

“Beasiswa?” Alvin kaget.

“Ya. Kalau kau tak percaya, baca saja ini.” Keshya lalu menyerahkan secarik kertas kepada Alvin.

Alvin yang cepat antusias langsung mengambil kertas yang diberikan Keshya dan membacanya dengan cepat. Membacanya dengan cepat? Ah, rasanya tidak. Di tengah kalimat saja, Alvin sudah mulai malas membaca. Bagaimana tidak? Sahabat gadisnya itu, Btari Keshya Valerie menerima beasiswa musik di luar negeri. Tepatnya di Australia. Dan Alvin tahu benar bahwa dari dulu Keshya memang telah bercita-cita ingin masuk ke sekolah tersebut. Untuk mengembangkan bakat musiknya di Australia, dan menjadi pemusik yang terkenal. Tak mungkin bila Keshya akan menolak tawaran beasiswa tersebut.

“Kau… kau akan mengambilnya?” Tanya Alvin mencoba untuk tegar. Karena separuh hatinya telah kecewa membaca surat tersebut. Bukannya kecewa karena Keshya mendapat beasiswa, justru Alvin senang karena sahabatnya telah berhasil mencapai impian yang ia ingin raih. Namun itukah artinya Keshya akan meninggalkan Alvin ? Sendirian…

“Hmm, aku pikir-pikir dulu vin. Lagipula aku juga harus membicarakan hal ini pada orangtua. Tapi mungkin harapanku untuk mengambilnya lebih besar daripada menolak.” Ucap Keshya tersenyum lebar.

Alvin perhatikan gadis yang duduk di hadapannya itu. Gadis itu tersenyum puas, sambil berkali-kali membaca kembali surat yang ia pegang. dan ia peluk surat tersebut sambil memandang langit. Alvin tahu, Keshya pasti senang. Impiannya akan segera tercapai. Namun, apakah Keshya bisa mengerti perasaannya? Perasaan Alvin yang tak ingin Keshya pergi dari sisinya. Perasaan Alvin yang ingin memiliki Keshya lebih dari seorang sahabat. Dan perasaan Alvin yang sangat perih mendengar kabar beasiswa itu. Ya, jawabannya hanya satu. Keshya takkan pernah mengerti. Namun, apakah tak ada sedikitpun celah di hati Keshya untuk menerimanya lebih dari seorang sahabat?

---

Namun bila waktuku telah habis dengannya…

Biar cinta hidup sekali ini saja…

---

“Kau akan mengambilnya?” teriak Alvin .

Keshya mengangguk mantap.

“Orangtuaku setuju. Lagipula memang dari awal aku menginginkan beasiswa itu. Hey, kau ingat kan vin. Aku pernah bilang, aku sangat ingin masuk ke sekolah itu, dan menjadi pemusik yang terkenal. Dan kau tahu? Bila aku menerima beasiswa itu, tinggal selangkah lagi, vin… Tinggal selangkah lagi aku bisa menjadi pemusik terkenal, seperti apa yang aku inginkan,” ucap Keshya, kemudian pikirannya melayang jauh menerawang kehidupannya nanti yang akan ia jalani di negeri antah berantah sana. dan memakai seragam sekolah tersebut yang sudah sangat dikenali oleh kebanyakan orang. Aih, Keshya tak sabar.

Sementara Alvin … hanya kekecewaan yang ia telan.

“Hem, oh iyaa… lusa aku berangkat.” Lanjut Keshya kemudian.

JDER !!

Ada suara petir hebat di atas langit sana yang menghantam tepat di dada Alvin.

Alvin bangkit dari duduknya. Dan menghadapakan tubuhnya ke Keshya. Keshya menengadahkan kepalanya ke atas agar bisa melihat Keshya.

“Jadi kau serius ingin pergi kesana?” Tanya Alvin, sedikit membentak.

Keshya kemudian ikut bangkit dari duduknya.

“Yap. Datang ya ke bandara lusa nanti. Kutunggu loh!” ucap Keshya, yang masih saja sempat tersenyum. Padahal ia tak tahu bahwa sahabatnya itu sangat perih mendengar kalimat-kalimat yang ia ucapkan dari bibir manisnya itu.

“Oh jadi begitu…”

Refleks, Keshya segera menoleh ke Alvin yang mendengar nada sinis dari bibir Alvin.

“Kau akan pergi ke negeri antah berantah, dan meninggalkan sahabatmu menelan kesepian.” Ucap Alvin dengan nada yang sinis, tanpa melihat wajah Keshya.

“Maksudku bukan begitu, vin. Aku hanya ingin mengejar impianku. Sebentar lagi impianku akan menjadi nyata. Seharusnya kau senang dong aku ke Australia,” ucap Keshya yang masih tetap tersenyum.

Alvin memicingkan matanya, menatap Keshya dengan sinisnya. Keshya melihat jelas perubahan tingkah Alvin.

“Senang? Apa yang kau bilang senang itu karena kau pergi untuk menjauh dariku?” bentak Alvin kemudian.

Keshya kaget, ya, sangat kaget. Senyum tak lagi terhias di bibirnya. Tiba-tiba rasa kekecewaan itu hadir dalam benaknya.

“Aku gak menjauh darimu, vin. Aku hanya ingin mengejar impianku. Bukan untuk menjauh darimu,” balas Keshya.

Keshya membuang mukanya ke sisi lain.

“Oke, kau memang tidak menjauh dariku. Tapi kau akan meninggalkanku,” ucap Alvin dengan nada datar.

Keshya mendesah panjang, kemudian ia langkahkan kakinya mendekati Alvin. Ia sentuh pundak sahabatnya itu, dan mengelusnya pelan.

Kau tak pernah mengerti perasaanku, Kesh… Tapi sampai kapan kau takkan mengerti?? Aku mencintaimu, Kesh. Aku tak ingin kehilanganmu… rintih Alvin dalam hati.

Alvin kemudian tersadar. Ia tak bisa begitu saja melepas Keshya pergi. Ia mencintainya, sangat mencintainya… Keshya tak boleh pergi darinya…

“Dulu kau menyuruhku untuk tidak meninggalkanmu…” ucap Alvin datar, membuat Keshya berhenti mengelus pundak Alvin. Ia mundur selangkah ke belakang sambil menatap Alvin yang tak menatapnya.

Kini Keshya baru mengerti, bahwa sahabatnya itu tak ingin ia pergi jauh dari sisinya. Namun, tak mungkin bila Keshya tetap bersama dengan Alvin, menghabiskan waktunya bersama seperti dahulu kala, namun ia harus kehilangan beasiswa tersebut. Namun sebenarnya, Keshya pun tak ingin bila harus meninggalkan Alvin.

Alvin kemudian menoleh ke Keshya, menatap kedua bolamata Keshya yang ia cintai itu yang juga kini tengah menatapnya.

“Tapi sekarang kamu Kesh, kamu… Kamu yang akan tinggalin aku. Mana sumpah persahabatanmu Kesh, manaaa……” bentak Alvin sambil menahan perih di hatinya.

Keshya benar-benar mengerti. Benar, Alvin tak ingin ia jauh dari sisinya.

“Aku tau, vin. Tapi apa kau sama sekali tak mendukung sahabatmu. Sahabatmu menerima beasiswa, vin. Ke Australia, menjadi pemusik terkenal. Apa kau tak mendukungku?”

“Jadi kau lebih memilih beasiswa itu daripada persahabatan kita?”

“Jelas saja vin… Aku mengambil beasiswa untuk pendidikanku di masa mendatang. Sedangkan sahabat? Sahabat ada dimana-mana vin. Aku pasti punya sahabat disana, seperti kamu. Kamu juga akan mendapat sahabat seperti aku disini,”

“GAK ADA YANG BISA SAMAIN AKU, KESH…” bentak Alvin dengan kerasnya.

“Kalau kau hanya mempedulikan beasiswamu itu, ambil saja… Tinggalkan aku, Kesh. Tinggalkan aku disini sendirian, TANPA SEORANG SAHABAT,” bentak Alvin menekankan kata ‘tanpa seorang sahabat’.

Keshya menahan kekecewaan. Kini ia mengerti, beginilah Alvin. Seorang manusia yang tak punya pengertian.

“EGOIS KAU, VIN… AKU BARU TAU TERNYATA BEGINILAH SIFAT ASLIMU…” Keshya kemudian melangkah meninggalkan Alvin sendiri di atas bukit sana. Sebutir airmata yang jatuh dari pelupuk matanya mengiringi langkah Keshya meninggalkan tempat tersebut.

Alvin memandang punggung Keshya yang semakin jauh darinya. Kemudian, rasa penyesalan itu datang.

---

Tak sanggup…

Bila harus jujur…

Hidup tanpa hembusan nafasnya…

---

Alvin melirik jam tangannya, lalu kembali memandang langit di sore hari tersebut. Sendirian… tanpa ada Keshya di sebelahnya.

“Keshya udah berangkat…” ucapnya kemudian menghembuskan nafas.

Alvin melepas kalung yang terlingkar di lehernya. Ia tatap lekat kalung bertuliskan ‘Alshya’ itu. Sesaat, rasa penyesalan itu kembali hadir di benaknya.

Kenapa kau tak pernah mengerti perasaanku, Kesh… batin Alvin sambil menunduk.

Kemudian ia rebahkan tubuhnya di atas bukit, dan kembali memandang langit.

Tiba-tiba langit di sore hari berubah menjadi sebuah rekaman film saat Alvin dan Keshya bertengkar untuk pertama kalinya dua hari yang lalu. Alvin hanya menyaksikannya sambil menggigit bibir, menahan perih.

“Egois kau, vin… Aku baru tau ternyata beginilah sifat aslimu…”

Suara Keshya. Yaa, Keshya yang mengatakannya. Suara itu terngiang lagi di telinga Alvin. Baru saat ini Alvin mendengar ucapan itu dari mulut Keshya. Ahh, kenapa hal itu harus terjadi?

---

Alvin membuka matanya, yang entah sejak kapan terpejam. Ia edarkan pandangannya ke sekeliling. Tempat sama yang ia lihat sebelum matanya terpejam. Hanya warna langitlah yang berubah. Alvin masih ingat tadi ia menatap langit sore sambil berbaring, mungkin saja ia ketiduran dan bangun ketika malam sudah tiba.

Bintang…???

Alvin memandang langit malam itu. Kenapa?? Kenapa tak ada bintang disana??

Alvin melirik sebelahnya. Kosong. Tak ada… tak ada lagi sahabat yang menemani di sebelahnya. Keshya telah pergi. Begitu juga bintang-bintang di langit. Pergi… seakan tak ingin lagi menjadi sahabat Keshya.

---

Alvin melangkah gontai menuju kamarnya. Namun, sebuah percakapan dari ruang keluarga yang tak sengaja ia dengar menghentikan langkahnya.

“Naas banget!” Itu suara Chelsea, kakaknya Alvin.

“Iya ya kak, ngeri deh aku. Untung aja keluarga kita gak ada yang ke Australia. Kalo ada, bisa nangis darah aku,” Kalo itu suara Dinda, adiknya Alvin.

“Haduh, lebaynya dirimu,”

“Loh, bener kak. Kecelakaannya aja parah gitu, manamungkin ada yang selamat. Kalaupun ada, pasti keadaannya kritis. Gak lama lagi, is death deh.”

“Hus, jaga ucapanmu Dinda,”

“Maaf deh kak. Eh, ganti chanel lain dong! Jangan berita terus…”

“Iyee… iyee…”

Alvin kemudian masuk kedalam kamarnya, namun pikirannya masih melayang pada percakapan antara kak Chelsea dengan Dinda yang tadi ia dengar di ruang keluarga. Sebenarnya, Alvin tak mementingkan hal itu. Apalagi itu adalah acara berita. Paling malas Alvin mendengarnya. Namun entah, mendengar kata ‘Australia’ Alvin langsung cepat antusias, dan pikirannya melayang ke Keshya. Apakah Keshya telah tiba di negeri impiannya??

---

Alvin menggigit roti selainya. Kemudian, Dinda datang dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil selembar roti dan selai kacang.

“Pagi, kak Alvin…” sapa Dinda.

Alvin tak menjawab, hanya memberi senyuman paksa di bibirnya. Sementara mulutnya masih asik mengunyah roti selai.

“Mau bareng gak vin?”

Sebuah tangan menepuk punggung Alvin, sontak saja Alvin yang sedang mengunyah roti selai langsung tersedak. Ia langsung menyeruput air yang udah tersedia di hadapannya.

Sementara Dinda dan orang yang menepuk punggung Alvin tadi tertawa lepas.

“Gila lu kak! Mau bikin gua mati?” bentak Alvin seusai menghabiskan air putihnya. Ia lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil air.

“Hahaaa… Santai, bro.” Chelsea memukul lengan Alvin setelah kembali dari dapur.

Alvin Cuma merengut. Ia lalu kembali duduk manis di sebelah Dinda atau lebih tepatnya di hadapan Chelsea.

“Kak, tau gak? Kecelakaan pesawat tadi malem yang kita tonton, masuk ke mimpi aku lohh…” ucap Dinda sambil mengunyah roti selainya.

“Ah, serius? Serem dong?” kata Chelsea langsung antusias sambil mengoles rotinya dengan selai. Sementara Alvin cuek sambil terus mengunyah roti terakhirnya.

“Iyalah. Serem banget malah. Lagian sih kakak pake nonton acara begituan.”

“Itu berita, Dinda? Kakak malah paling demen kayak gitu,”

“Halah sok tua lu kak!” ejek Alvin kemudian menyeruput airnya lagi karena rotinya telah habis.

Chelsea tak pedulikan celoteh Alvin, lalu ia melanjutkan…

“Sebenarnya kakak tuh masih penasaran sama kecelakaan pesawat menuju Australia itu, kan belum dikasih tahu beeerrrr….”

BRRUUUSSS…!!!!

Ucapan Chelsea tak sampai selesai, karena ia keburu disembur air oleh lelaki di hadapannya.

“Alvinnnnnnn… lu apa-apaan sih? Kalo mau nyembur air jangan ke gua dong, ke Dinda ajahh…” rengek Chelsea membentak kemudian mengelap wajahnya yang kena semburan air dari Alvin dengan saputangannya.

“Lah? Kok aku?” Dinda bingung.

“Heh, sorii kak. Tapi, tadi lu bilang apa? Kecelakaan pesawat? Australia? Maksudnya?” Tanya Alvin gak sabaran.

“Iya kak. Pesawat menuju Australia yang take off jam 5 sore kemaren kecelakaan. Hampir semua korban tewas. Naas banget deh pokoknya,” Samber Dinda sambil mengelap meja makan yang juga kena semburan air dari Alvin.

Take off jam 5 sore?? Itu kan???........ Jam keberangkatannya Keshya???

“Kecelakaan???” teriak Alvin yang langsung bangkit dari duduknya.

Dinda ngangguk-ngangguk. Chelsea pun demikian.

“Kenapa?” Tanya Dinda dan Chelsea bersamaan.

Alvin tak menjawab. Kini, pikirannya kacau entah kemana.

Keshya … kecelakaan…?? Gak mungkiiin… !!!

---

Tuhan bila waktu dapat kuputar kembali…

Sekali lagi untuk mencintanya…

---

Alvin menelusuri koridor rumah sakit dengan langkah cepat dan tergesa-gesa. Ia ingin cepat sampai ke ruang dimana sahabatnya berada.

“Btari Keshya Valerie, ruang UGD, sedang buka jahitan. Tunggu saja 10 menit lagi!”

Begitulah jawaban resepsionis ketika Alvin menanyakan korban kecelakaan pesawat yang bernama Keshya di Rumah Sakit Harapan Bandung. Setelah mendengarnya, Alvin langsung melangkahkan kaki-kaki kecilnya menuju ruang UGD.

---

Alvin genggam erat tangan mungilnya Keshya yang berbaring di hadapannya. Sebutir airmata kemudian jatuh membasahi tangan Keshya. Secepat mungkin Alvin mengelap airmatanya yang jatuh di tangan Keshya .

“Maafin aku Kesh…” ucap Alvin yang tiba-tiba airmatanya mengalir kembali dari pelupuk matanya.

“Bukan kamu yang salah vin,”

Alvin menoleh ke sumber suara.

“Ini udah jadi takdir. Aku yang memilih jalan ini, berarti aku pula yang harus menanggung semua yang terjadi padaku,”

Alvin menggigit bibirnya. Ia merasa bahwa dirinya tak becus menjaga sahabat yang dicintainya itu. Keshya, sahabat kecilnya harus berbaring disana. Di rumah sakit kecil yang menerima korban kecelakaan pesawat menuju Australia. Memang Keshya selamat, namun ia harus menerima kenyataan bahwa wajahnya akan cacat. Ya, wajah Keshya cacat. Dan kondisinya pun masih kritis. Banyak luka di tubuhnya yang harus dijahit. Dan yang harus Keshya telan pahitnya adalah kehilangan kedua orangtuanya yang tewas di tempat.

Alvin membelai pelan rambut Keshya, sementara Keshya … ia hanya diam, sambil menatap lekat wajah sahabat yang duduk di sebelahnya.

“Tapi mungkin takdir akan berkata lain bila kau dan aku tak bertengkar kemarin hari,” ucap Alvin.

“Sudahlah vin. Tak usah kau ungkit masalah itu lagi. Kenyataannya sekarang udah terjadi, gak ada yang perlu disesalkan,” kata Keshya mencoba tersenyum. Namun Alvin bisa melihat jelas sedikit gurat kesedihan di wajah Keshya.

“Kesh…” Alvin berhenti mengelus rambut Keshya, ia kini kembali menggenggam tangan Keshya.

“Aku hadir di dunia untukmu. Jadi, jangan pernah kau tinggalkan aku. Tetaplah disini bersamaku Kesh. Aku mencintaimu…” ucap Alvin sambil menatap wajah Keshya yang penuh perban.

Keshya menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis.

“Aku juga mencintaimu, vin. Karena kau sahabatku,”

“Tapi aku ingin lebih dari itu,” balas Alvin dengan cepat.

Keshya tercekat. Ia diam, tak bereaksi apa-apa. Namun masih menatap lekat wajah Alvin.

“Sejak dulu Kesh, sejak dulu kunantikan sosok dirimu yang lain. Sesosok Keshya yang juga mencintaiku, lebih dari seorang sahabat. Aku menanti itu Kesh, aku menantinya.” Lanjut Alvin

Keshya masih diam.

“Kau cinta pertamaku, Kesh. Dan aku janji akan menjadikanmu cinta terakhirku juga,”

Hening kemudian. Alvin tak lagi berkata, Keshya pun demikian. Ia tak tahu apa yang harus dijawabnya. Ia mencintai Alvin, namun rasa cintanya tak lebih dari seorang sahabat. Keshya hanya menganggap bahwa Alvin sahabatnya, tak lebih.

“Kau sahabatku, vin” ucap Keshya kemudian.

“Tapi kau cintaku, Kesh.” Balas Alvin tak mau kalah. Ia ingin dirinya menang. Memang, egois. Namun baginya, egois untuk cinta, apa salahnya?? Alvin jujur, mencintai Keshya. Dan tak ingin kehilangannya. Maka Alvin pun harus egois agar bisa mendapatkan Keshya, untuk menjadi miliknya.

Keshya membuang mukanya. Dari sudut matanya, sebutir airmata mengalir membentuk sebuah garis di pipinya. Keshya tak ingin menyakiti sahabatnya.

“Aku kini cacat, vin…” ucap Keshya kemudian, tanpa menatap wajah Alvin. Dan suaranya, suaranya terdengar lirih.

“Kau tak mungkin akan betah hidup bersama seorang gadis yang cacat.” Lanjutnya, dan kini terdengar suara isak tangis dalam kata-katanya. Keshya menangis..

“Enggak Kesh…” Alvin bangkit dari duduknya, agar bisa melihat wajah Keshya. “Aku tak akan mungkin meninggalkanmu. Walau keadaanmu seperti ini, itu tak akan merubah semuanya. Aku tetap mencintaimu,”

Keshya menoleh pelan, melihat kembali wajah Alvin. Segurat keseriusan tampak jelas di wajahnya. Akhirnya, sebuah anggukan kecil Alvin dapatkan.

Alvin kembali duduk, tanpa mengalihkan pandangannya dari Keshya.

“Kau serius? Ingin bersamaku?” Tanya Alvin girang.

“Aku akan mencobanya…” ucap Keshya lirih disertai anggukan kecil.

Alvin langsung menyambar pundak Keshya untuk memeluknya. Keshya rasakan hangat pelukan itu. Namun apa bisa ia menjadi apa yang Alvin inginkan? Keshya hanya menganggap Alvin sahabat, tak lebih. Ya, Keshya harus mencobanya. Walau mungkin ia harus menahan perih.

---

Namun bila waktuku telah habis dengannya…

Biarkan cinta ini…

---

“Sakit vin…” Keshya menggenggam erat tangan Alvin sambil menahan perih.

“Sabar Kesh, sabar. Kamu pasti kuat,” Alvin memberi support sambil terus mengejar Keshya.

Keshya kini dibawa lagi ke ruang UGD. Keadaan Keshya kembali kritis. Dokter kembali akan memeriksanya. Berkali-kali Keshya merasa perih pada bagian organ tubuhnya. Ia merasa dadanya sesak. Sulit untuk bernafas.

“Maaf, dik. Adik tidak boleh ikut masuk. Tunggu disini, berdoa agar teman adik diberi keselamatan,” ucap seorang suster menghentikan langkah Alvin ketika Alvin ikut masuk ke ruang UGD.

Kemudian suster itu menutup pintu ruang UGD. Alvin menunggunya di luar dengan gelisah. Berkali-kali ia membatin,

Tuhan, selamatkan Keshya. Jangan dulu Kau ambil nyawanya. Aku masih ingin bersamanya, Tuhan…

---

Alvin tatap wajah gadis itu. Wajahnya pucat, sangat pucat… Akankah ini untuk yang terakhir kalinya ia menatap wajah itu? Tidak, jangan. Itu tak boleh terjadi. Alvin masih ingin bersamanya. Sangat ingin… Keshya tak boleh pergi darinya.

Alvin membelai pelan rambut Keshya. Keshya sudah tidur. Sehabis pemeriksaan, dokter memang menyuruh Keshya untuk tidur, agar kondisinya membaik di kemudian hari. Dan Alvin, akan menemaninya malam ini. Hingga esok hari tiba…

---

Sinar mentari yang masuk melewati celah jendela menembus kelopak mata Alvin membuatnya terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Ia mengulet. Dilihatnya Keshya masih berbaring di hadapannya. Matanya masih terpejam. Mungkin pengaruh obat yang diberikan dokter tadi malam hingga membuat Keshya masih tertidur.

Alvin melangkahkan kakinya keluar kamar, ia ingin menghirup udara pagi sejenak sambil melihat para pasien rumah sakit yang dibawa pengunjung ke halaman rumah sakit untuk menghirup udara segar. Dokter dan suster pun kembali beraktivitas untuk memeriksa keadaan pasiennya satu persatu.

Hampir setengah jam lebih Alvin menikmati udara pagi di luar rumah sakit. Ia kemudian melangkahkan kakinya kembali menuju kamar Keshya. Ia masih menemukan sesosok Keshya terbaring di ranjang. Wajahnya masih pucat. Alvin mendekatinya.

“Selamat pagi, Kesh…” ucap Alvin pada Keshya yang matanya masih terpejam.

Alvin kemudian meraih tangan Keshya. Namun, Alvin tersentak. Tangan Keshya dingin, sangat dingin. Alvin mulai gelisah. Ia langsung memeriksa denyut nadi Keshya, namun Alvin sama sekali tidak merasakan nadi Keshya berdenyut. Dan juga tak bisa Alvin rasakan detak jantung Keshya ketika memeriksa keadaan jantungnya. Alvin terduduk lemas di sebelah Keshya. Perlahan airmatanya mengalir dari pelupuk matanya.

Keshya telah pergi, meninggalkan dirinya. Untuk selamanya…

---

Biarkan cinta ini…

Hidup untuk sekali ini saja…

---

Kau akan selalu ada di hatiku untuk selamanya kesh… batin Alvin sambil menatap langit.

Alvin kembali sendiri di atas bukit sana. Memandang langit sendirian, tanpa ada Keshya di sebelahnya.

2 tahun sudah Keshya pergi meninggalkan Alvin. Meninggalkan semua kenangan tentang persahabatan mereka. Kini, Alvin berdiri sendiri di atas bukit. Bersama bayangan Keshya di benaknya, ia lalui hari demi hari hingga ia kini menjadi apa yang ia inginkan dahulu.

Alvin akan selalu ingat, ketika Keshya berada di sebelahnya, menceritakan semua tentang cita-cita dan harapannya, memberikan support untuknya, dan masih banyak lagi yang ada di ingatannya. Walau Keshya telah pergi dari sisinya, tapi Keshya akan selalu ada di hati Alvin untuk selamanya. Begitupun sebaliknya. Walau Keshya kini berada di dunia lain, pasti Alvin tak akan terhapus di hatinya.

Seuntas kalung ‘AlShya’ akan selalu terlingkar di leher Alvin. Untuk selamanya, sebagai pertanda bahwa Alvin dan Keshya tak akan pernah bisa dipisahkan…

Biarkan cinta ini, hidup untuk sekali ini saja…


Karya : Helda Eka Rahmadanti

Related Posts: